Sekilas Sejarah Terbentuknya Kelompok Cipayung

Home Forums Historia PMKRI dan Kelompok Cipayung Sekilas Sejarah Terbentuknya Kelompok Cipayung

  • This topic is empty.
Viewing 1 post (of 1 total)
  • Author
    Posts
  • #2015
    editor
    Keymaster

    Sekilas Sejarah Terbentuknya KELOMPOK CIPAYUNG

    Oleh:
    SOERJADI
    Mantan Ketua Umum DPP GMNI,
    Penanda tangan Deklarasii Kelompok Cipayung

    Pada awalnya “Kelompok Cipayung” hanyalah istilah untuk menyebut satu Forum Komunikasi dan Kerjasama 5(lima) organisasi massa (ormas) mahasiswa. Ormas-ormas mahasiswa itu adalah:

    1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
    2. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI),
    3. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
    4. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
    5. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).1

    Tapi, dalam perkembangannya keberadaannya terkesan melembaga, menjadi populer di masyarakat, itu tentu karena kiprah peran dan terutama pikiran-pikiran kritis yang dilahirkannya, kerap dianggap sebagai cerminan sikap politik mahasiswa Indonesia.

    Eksistensi Kelompok Cipayung memang satu fenomena menarik dalam sejarah kerjasama antar ormas mahasiswa. Bukan saja karena bentuknya yang unik, karena menyatukan ormas-ormas yang memiliki berbagai perbedaan karakteristik, tapi juga usianya relatif panjang dibanding dengan wadah kerjasama ormas mahasiswa yang lain. Lahirnya kerjasama Kelompok Cipayung, sebenarnya bukan sesuatu yang direncanakan, dalam arti para pemimpin ormas-ormas mahasiswa itu berkumpul dan kemudian membentuk suatu kelompok yang dinamakan Kelompok Cipayung, melainkan secara alamiah melalui diskusi-diskusi informal dan komunikasi yang bersifat personal antar sesama pimpinan ormas mahasiswa.

    Komunikasi untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman antara sesama pimpinan dan aktivis mahasiswa memang sesuatu yang lazim terjadi, apalagi bila sebelumnya sudah saling kenal satu sama lain. Hal ini juga terjadi diantara sesama pimpinan ormas Kelompok Cipayung, yang sebelumnya sudah sempat berhimpun dalam wadah perjuangan bersama, KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) 2)

    Terbentuknya KAMI di tahun 1966, juga secara revolusioner. Artinya, tidak direncanakan, tapi karena kebutuhan perjuangan saat itu. Ini terjadi karena, dua wadah berhimpun ormas mahasiswa yakni, PPMI (Perhimpunan Perserikatan-perserikatan Mahasiswa Indonesia) dan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia)3) dinyatakan bubar akibat dampak kemelut politik nasional di seputar peristiwa G.30.S/PKI di tahun 1965.

    Tapi, KAMI juga tidak bertahan lama, terutama ketika kekompakan mahasiswa mulai terganggu oleh masuknya berbagai kepentingan politik praktis dalam perjuangan mahasiswa. Besarnya peranan perjuangan mahasiswa (KAMI) dalam menumbangkan Orde Lama –dan melahirkan Orde Baru—memang menarik minat berbagai kekuatan politik untuk memanfaatkan mahasiswa. Hal ini yang melemahkan kekompakan mahasiswa, karena sebagian dari pimpinan dan aktivisnya kemudian terseret ke dalam perjuangan politik praktis, sementara sebagian lagi bertahan pada posisi peran sebagai kekuatan moral (morale forces).

    Dengan masuknya beberapa orang pimpinan dan aktivis KAMI di MPR(S) dan DPR (GR), muncul pandangan bahwa aspirasi mahasiswa sudah bisa disalurkan melalui mereka yang duduk di parlemen, dan sudah saatnya mahasiswa back to campus untuk kembali belajar sebagaimana biasa. Akan tetapi, sebagian lagi berpendapat bahwa perjuangan mahasiswa harus tetap dilanjutkan. Sebab situasi dan kondisi nasional masih jauh dari keadaan yang diharapkan.

    Implikasi dari keadaan ini, KAMI terus melemah dan pada tahun 1969 akhirnya bubar ketika beberapa ormas mahasiswa menyatakan keluar dari wadah perjuangan ini. Pun demikian, perjuangan mahasiswa masih tetap berlanjut. Mahaiswa tetap kritis, terhadap keadaan bangsa dan negara. Ini setidaknya tampak pada aksi-aksi “Mahasiswa Menggugat.” Gerakan Penghematan, Komite Anti Korupsi (KAK), protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indonesia Indah karena dianggap sebagai suatu pemborosan, dan sebagainya.

    Menghadapi situasi seperti ini, pimpinan GMNI secara tegas menyatakan diri tetap berjuang pada jalur kemahasiswaan. Kalau pun, kemudian beberapa orang pimpinan pusat GMNI duduk di MPR(S) dan DPR(GR), itu bukan mewakili mahasiswa, melainkan mewakili Partai Nasional Indonesia (PNI) 4)

    Dengan bubarnya KAMI, maka ormas-ormas mahasiswa tentu tidak memiliki wadah perjuangan bersama yang melembaga. Namun, ketiadaan wadah resmi tidak jadi halangan bagi sesama pimpinan mahasiswa membina hubungan satu sama lain. Kontak-kontak komunikasi sesungguhnya terus berlanjut meski bersifat hubungan antar pribadi. Secara umum, situasi saat itu dirasakan mulai kurang kondusif bagi perjuangan mahasiswa. Tapi disisi lain, dorongan idealisme untuk tetap memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara, mendorong para pimpinan ormas untuk saling berkomunikasi, bertukar pikiran untuk membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi bersama.

    Pertemuan-pertemuan yang dilakukan umumnya bersifat informal, dan juga bukan di kantor sekretariat ormas tapi lebih sering di rumah salah seorang aktivis (Ismid ?) di kawasan Jalan Surabaya yang letaknya berdampingan dengan rumah Pangdam saat itu. Karena sifatnya informal dan antar personal, maka yang bertemu pun tidak langsung melibatkan lima organisasi, tapi bertahap. Awalnya, yang intens bertukar pikiran adalah dari HMI, GMNI dan PMKRI. Kemudian ikut GMKI. Sedangkan materi yang dibicarakan, adalah berbagai persoalan aktual yang terjadi pada saat itu dalam perspektif masa depan bangsa dan negara.

    Dari pertemuan dan diskusi-diskusi ini, lahir keinginan untuk menyelenggarakan pertemuan formal, untuk merumuskan sikap bersama sekaligus untuk mengukuhkan kerjasama dimasa mendatang. Pertemuan dengan naungan thema “Indonesia yang kita cita-citakan” ini terlaksana pada tanggal 21 hingga 22 Januari 1972. di Cipayung Jawa Barat. Dari pertemuan inilah, lahir sebutan “Kelompok Cipayung” dan tanggal 22 Januari diperingati sebagai hari kelahirannya.

    Pada pertemuan Cipayung I ini, para pimpinan empat ormas mahasiswa berhasil menyusun naskah “Kesepakatan Cipayung” yang tidak hanya menggambarkan profile Indonesia yang didambakan bersama, tapi juga bagaimana mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan itu, dan apa peran generasi muda dalam pembangunan Indonesia itu.

    Dalam suasana yang khusyuk, diiringi lagu “Bagimu Negeri” naskah tersebut ditandatangani oleh para Ketua Umum ormas mahasiswa, Akbar Tanjung, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Soerjadi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Chris Siner Key Timu, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI, dan Binsar Sianipar, Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)5.

    Lahirnya pernyataan sikap bersama –yang dikenal dengan Kesepakatan Cipayung I—ternyata menarik perhatian masyarakat luas. Selain itu, munculnya bentuk kerjasama yang terkesan unik karena meski hanya bersifat “Forum Komunikasi, ” namun merupakan gagasan orisinil mahasiswa, langsung mau pun tidak langsung menyebabkan konsep pewadahan tunggal bagi mahasiswa yang digagas penguasa, yakni PNMI (Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia), disambut dingin oleh mahasiswa.

    Jalinan komunikasi antar ormas Kelompok Cipayung pun semakin intens. Pertemuan Cipayung II yang digelar di Jakarta pada 16 April 1972, hasilnya selain mempertegas Kesepakatan Cipayung I, juga melahirkan evaluasi umum perkembangan kehidupan bangsa saat itu. Evaluasi yang dituangkan dalam naskah berjudul “ Kesimpulan Umum Cipayung II” ditanda-tangani oleh Ridwan Saidi (HMI), Gambar Anom (HMI), Soerjadi (GMNI), Budi Hardjono (GMNI), Natigor Siagian (GMKI), Jannes Hutagalung (GMKI), Chris Siner Key Timu (PMKRI), Eko Tjokrodjojo (PMKRI).

    Pada saat bersamaan pemerintah menggiring ormas-ormas masuk ke dalam bentuk pewadahan tunggal, sehingga perlahan tapi pasti berbagai ormas pun bubar karena melebur dalam wadah yang disodorkan pemerintah. Ormas-ormas buruh melebur ke dalam SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia), ormas-ormas nelayan ke dalam HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), ormas-ormas Petani ke HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), dan sebagainya.

    Yang masih bisa bertahan, tinggal ormas mahasiswa karena telah didahului dengan lahirnya Kelompok Cipayung, dan ormas-ormas wanita karena jauh hari sudah terbentuk Kowani (Kongres Wanita Indonesia).

    Menghadapi perkembangan situasi ini, ormas-ormas Kelompok Cipayung sulit menggelar pertemuan, karena segala perhatian terpaksa difokuskan pada upaya menyiasati kebijakan pewadahan tunggal yang dijalankan pemerintah. Peran aktif ormas-ormas Kelompok Cipayung dalam pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) pada 23 Juli 1973 yang kemudian dijadikan wadah tunggal bagi pemuda, oleh pemerintah dijadikan dalih untuk mengakhiri eksistensi ormas-ormas Kelompok Cipayung. Hal ini setidaknya tercermin dalam pendapat Menteri Pendidikan & Kebudayaan (Mendikbud), Syarif Thayeb yang menganggap mahasiswa adalah bagian dari pemuda dan karenanya harus melebur dalam KNPI.

    Pendirian Mendikbud ini, ditanggapi berbeda oleh ormas-ormas Kelompok Cipayung yang memandang KNPI hanyalah sebagai wadah berhimpun bagi ormas-ormas kepemudaan, dan keberadaannya hanya terbatas pada tingkat nasional. Bahkan ormas-ormas Cipayung menempatkan KNPI hanya sebagai salah satu organisasi kepemudaan, yang statusnya sama dengan ormas-ormas kepemudaan yang sudah ada.

    Kerasnya tekanan terhadap ormas-ormas mahasiswa –agar mau melebur dalam wadah tunggal—menimbulkan berbagai kesulitan untuk penyelenggaraan pertemuan Cipayung berikutnya. Apalagi, di saat bersamaan aksi-aksi protes mahasiswa terus marak di berbagai kota. Meletusnya kerusuhan massa, tanggal 10 Januari 1974 yang kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Malari,” langsung mau pun tak langsung berdampak bagi mahasiswa ini, tentu juga amat berpengaruh bagi Kelompok Cipayung. Apalagi setelah itu, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Syarif Thayeb menerbitkan Surat Keputusan Nomor 028/U/1974 (populer dengan sebutan: SK 028) yang menempatkan semua aktivitas mahasiswa di dalam kampus berada dalam pengendalian efektif rektor.

    Pun demikian, pada 23 hingga 25 Januari 1976, Kelompok Cipayung dapat menggelar Pertemuan Cipayung III, dan pada pertemuan ini, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) untuk pertama kali ikut dalam Kelompok Cipayung 6) sehingga Kelompok Cipayung berjumlah 5(lima) ormas mahasiwa.

    SEMANGAT CIPAYUNG.

    Terbentuknya Kelompok Cipayung sudah jelas karena adanya komunikasi yang erat antar pimpinan ormas mahasiswa untuk saling bertukar pikiran. Dari proses komunikasi ini, terjalin rasa kebersamaan dalam menghadapi persoalan bersama. Karena besarnya keinginan itu, maka ia mampu mengatasi berbagai perbedaan antar ormas. Kelompok Cipayung terbentuk karena adanya kemauan kuat –dan tentu disertai kemampuan— dari pimpinan lima ormas mahasiswa mengatasi perbedaan-perbedaan (bukan menghilangkannya). Kuncinya, adalah meletakkan kepentingan bangsa, negara dan mahasiswa pada agenda bersama.

    Memang, ada faktor subyektif dan obyektif yang berperan mendorong proses terjadinya pertemuan pertemuan yang kemudian melahirkan kesepakatan-kesepakatan bersama Kelompok Cipayung.

    Faktor subyektif dimaksud adalah kesadaran akan pentingnya peranan mahasiswa dalam berbagai perubahan kearah kemajuan bangsa Indonesia, baik dimasa lampau, masa kini dan tentu juga dimasa mendatang, Hal ini setidaknya terlihat dalam peristiwa-peristiwa kebangkitan nasional 1908, peristiwa sumpah pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, dan terutama pada saat transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Jadi, ada semacam kesadaran historis akan status peran mahasiswa yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Kesadaran historis itu, kemudian membangkitkan kesadaran akan tanggung jawab di masa depan. Sebab, dari pengalaman empiris-historis, maka tentu sudah bisa disimpulkan bahwa perlahan tapi pasti, pada saatnya para mahasiswa juga akan bersama-sama tampil memimpin bangsa dan negara ini.

    ”Jadi tentu akan sangat ideal, jika kebersamaan itu sudah mulai dibangun sejak masih duduk di bangku kuliah. Sebagai mahasiswa, memang merasa sedikit “eksklusif.”7) Ini tentu wajar, karena, saat itu jumlah perguruan tinggi masih terbatas, karenanya jadi mahasiswa masih dianggap sebagai sesuatu yang agak istimewa.

    Sedangkan faktor obyektifnya adalah situasi dan kondisi sosial politik yang dirasakan sudah tidak kondusif lagi bagi perjuangan mahasiswa. Besarnya peranan mahasiswa dalam proses transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, disatu sisi telah merangsang keinginan kekuatan-kekuatan politik yang ada untuk menyeret mahasiswa masuk ke kancah politik praktis, pada sisi lain ada pula yang berkehendak membatasi ruang gerak mahasiswa, sebab tuntutan mahasiswa –yakni Tri Tura8) —sebagian sudah tercapai. Untuk itu, aksi-aksi jalanan seyoganya diakhiri dan aktivitas mahasiswa cukup di dalam kampus saja.

    Dengan demikian, mahasiswa dihadapkan pada pilihan yang amat dilematis, karena karakteristik gerakan mahasiswa bukanlah gerakan politik, melainkan tetap gerakan moral. Sebaliknya, mahasiswa juga tidak bisa berdiam diri melihat kenyataan yang berkembang justru masih jauh dari harapan.

    Menghadapi kenyataan seperti ini, maka sikap ormas-ormas mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung cukup tegas yakni, menegaskan pandangannya tentang ke-Indonesia-an yang menjadi harapan mahasiswa, keberadaannya yang tak terpisahkan dari masyarakat, serta jatidirinya sebagai mahasiswa, pewaris masa depan yang menuntut syarat-syarat tertentu agar dapat mempersiapkan diri mengemban tugas dimasa mendatang.

    Menurut Kelompok Cipayung, mahasiswa sebagai generasi pembangun mutlak turut menentukan isi, bentuk, corak dan watak dari Indonesia yang kita cita-citakan, dengan memberikan kemungkinan dan kesempatan untuk menyampaikan pikiran-pikiran, pendapat-pendapat dan tenaga melalui kebebasan yang bertanggung jawab, yang dijamin atas dasar hukum, dan untuk itu pembangunan generasi pembangun menjadi kewajiban bersama.

    Ia akan mempunyai peranan bila dalam generasi muda pembangun itu sendiri ada inisiatif untuk mengubah dan mempersiapkan diri menerima dan memikul tanggung jawab masa depan dalam mencapai Indonesia yang kita cita-citakan itu.

    Inisiatif ini berbentuk usaha membuka diri dalam memahami apa artinya anugerah Tuhan untuk kita hidup di Indonesia, mempergunakan ilmu dan teknologi dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, menerima pikiran-pikiran yang beraneka ragam dari berbagai golongan generasi muda dalam masyarakat, dan kesediaan mempersiapkan diri untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara.

    Dengan pernyataan sikap ini, Kelompok Cipayung sebenarnya ingin menegaskan keberadaannya bukan sebagai kelompok politik, karena –sebagai mahasiswa—masih dalam fase “mempersiapkan diri.” Tapi, juga tidak akan menutup mata pada keadaan disekelilingnya karena apa yang terjadi dihari ini pasti berdampak bagi masa depan yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, mahasiswa mesti memiliki kebebasan mengutarakan pendapat, serta mengekspresikan dirinya, sesuai dengan ketentuan hukum yang menaunginya, serta kaidah-kaidah keilmuan sebagaimana layaknya insan akademis.

    Berpijak pada pendirian ini, maka Kelompok Cipayung jelas menolak segala bentuk pemanfaatan (penunggangan) mahasiswa oleh kekuatan politik apa pun, dan juga menolak segala bentuk kebijakan yang membatasi kebebasannya mengutarakan pendapat dan berkreasi. Sikap ini tentu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik saat itu, yang dirasakan menghambat kebebasan mahasiswa. Bahkan karena itu, dari 1973 hingga awal 1976 ormas-ormas Kelompok Cipayung sulit menggelar pertemuan untuk menggodok sikap bersama. Baru pertengahan 1976, terselenggara pertemuan Cipayung III, yang pesertanya sudah menjadi 5(lima) ormas, sehubungan dengan ikut sertanya PMII di dalam Kelompok Cipayung.

    Meski berbagai pembatasan cenderung semakin mengetat, anggota-anggota Kelompok Cipayung tetap dapat memelihara sikap kritisnya, dan juga selalu tegas mengutarakan pendapatnya atas nama organisasi masing-masing. Hal ini antara lain tercermin pada sikap GMNI yang tegas menolak pemberlakukan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 028/U/1974, yang sempat mengundang polemik berkepanjangan antara pimpinan GMNI dengan Menteri P dan K, Syarif Thayeb 9)

    Catatan:

    1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri pada 5 Pebruari 1947 di Yogyakarta. HMI beridentitas Islam bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah. Untuk pertama kali Ketua Umum Pengurus Besar dijabat oleh Lafran Pane, dan kemudian diganti oleh HMS Mintaredja. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Berdiri di Yogyakarta tanggal 25 Mei 1947 hasil fusi dari beberapa organisasi mahasiswa katolik yakni KSV (Katholiek Studenten Vereniging) St. Robertus Bellarminus di Jakarta, KSV St. Thomas Aquinas di Bandung, KSV St Lucas di Surabaya dan PMKRI Yogyakarta. PMKRI berazas Pancasila, dijiwai oleh Kekatholikan disemangati oleh Kemahasiswaan. Ketua Presidium Pusat PMKRI yang pertama dijabat oleh P.K Harjasudirdja. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berdiri tanggal 25 Maret 1954 di Surabaya (Kongres I) dan merupakan hasil fusi dari tuga ormas seazas, yakni, Gerakan Mahasiswa Demokrat, Gerakan Mahasiswa Marhaenis dan Gerakan Mahasiswa Merdeka. GMNI berazaskan Pancasila. Ketua Umum DPP GMNI pertama dijabat oleh Hadi Prabowo. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) ormas mahasiswa yang beridentitas Kristen ini terbentuk 9 Pebruari 1950 merupakan hasil peleburan dua organisasi yakni, Christelijk Studenten Vereniging op Java (berdiri 1932( dan PMKI (Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia. Yang pernah menjabat Ketua Umum antara lain Dr Leimena. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada 17 April 1960. Ketua Umum PB dari ormas yang bercirikan Islam dan berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini untuk pertama kali dijabat oleh Machbub Djunaedi.

    2. KAMI terbentuk spontan untuk menggalang kekuatan mahasiswa melawan G.30.S/PKI. GMNI juga bergabung dalam KAMI. Mahasiswa UI, Arif Rahman Hakim yang gugur saat berdemonstrasi di depan istana adalah anggota GMNI. Salah satuan mahasiswa yang terbentuk kemudian adalah Lasykar Ampera Arief Rahman Hakim pimpinan Fahmi Idris.

    3 PPMI (Perhimpunan Perserikatan-perserikatan Mahasiswa Indonesia) beranggotakan ormas mahasiswa ekstra universiter sedangkan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) beranggotakan organisasi mahasiswa intrauniversiter.

    4. Hingga PNI berfusi ke dalam PDI, Soerjadi tetap menjabat Ketua Umum DPP GMNI. Sedangkan Aberson Marle Sihaloho, sempat duduk di DPP PNI sebagai Wakil Sekjen II.

    5. Bila dihitung dari awal pembentukan ormas-ormas anggota Kelompok Cipayung, maka Akbar Tanjung adalah Ketua Umum PB HMI yang ke 11 (menggantikan Nurcholis Madjid). Soerjadi adalah Ketua Umum DPP GMNI ke 3 (menggantikan Bambang Kusnohadi), Binsar Sianipar Ketua Umum PP GMKI ke 10 (menggantikan Killian Sitohang), Chris Siner Key Timu, ( 2 periode) Ketua Umum PP PMKRI ke 18 (menggantikan J Max Wayong), H Abduh Paddare adalah Ketua Umum PB PMII ke 3 (menggantikan H Zamroni) (diolah dari berbagai sumber)

    6. Saat itu, Ketua Umum PB PMII adalah H. Abduh Paddare. Komunikasi PMII dengan 4 ormas Cipayung sebenarnya telah dimulai saat PMII dipimpin oleh Drs Zamroni.

    7. Tak dapat disangkal Kelompok Cipayung hingga saat ini tetap menjadi salah satu persemaian calon pemimpin bangsa/Negara. Cukup banyak contoh yang dapat menjelaskan hal ini

    8. Tri Tura atau Tiga Tuntutan Rakyat adalah: 1. Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, 3 Turunkan Harga Barang kebutuhan rakyat. Saat itu, dua tuntutan memang sudah terpenuhi, tinggal tuntutan ketiga.Yang terjadi justru harga semakin naik.

    9. Penolakan terhadap SK Menteri P dan K No. 028/U/1974 disampaikan dalam Pidato Politik Ketua Umum DPP GMNI pada Pembukaan Kongres VI GMNI di gedung Kebangkitan Nasional tahun 1976. Menteri P dan K Syarif Thayeb yang juga hadir saat itu sempat bertanya, apakah ia sudah membaca SK tersebut kepada salah seorang peserta GMNI dan dijawab belum membacanya. Karena jawaban ini, Syarif Thayeb menilai penolakan GMNI sebagai tindakan yang gegabah. Tetapi menurut Soerjadi, mahasiswa memang merasa terbelenggu oleh adanya SK tersebut, Ini kenyataan yang tak terbantah. Saat itu, Soerjadi juga menjabat Ketua Komisi IX DPR-RI

    Sumber : https://www.facebook.com/notes/paulus-londo/sekilas-sejarah-terbentuknya-kelompok-cipayung/282662075116240/

Viewing 1 post (of 1 total)
  • You must be logged in to reply to this topic.