Home › Forums › Historia › PMKRI dan Kelompok Cipayung › DEKAT MENDEKATI, DI CIPAYUNG
Tagged: Kelompok Cipayung
- This topic is empty.
-
AuthorPosts
-
2020-11-10 at 23:45 #8024
rinividivici
MemberDEKAT MENDEKATI, DI CIPAYUNG
Edisi : 47/01
Tanggal : 1972-01-29
Halaman : 07
Rubrik : NAS
Penulis :
Sumber :“Kalau sipilnja tidak mati, militernja jang mendekat, kalau
militernja tidak mau, sipilnja jang mendekat”:; KATA-KATA itu diutjapkan lajdjen Ali Murtopo. Ia berbitjara
tentang hubungan sebaiknja antara generasi muda sipil dengan
generasi muda ABRI dimasa-masa datang – jang agaknja berlaku
djuga buat masa kini. Hari itu Kamis malam di Tjipajung. 20
Djanuari minggu lalu. Diruang pertemuan Wisma Agraria jang
dihadiri sekitar 45 orang, usaha dekat-mendekati antara
mahasiswa dengan penguasa memang sedang dilakukan. Pertemuan
jang di selenggarakan 4 organisasi mahasiswa (HMI, GMKI, GMNI
dan PMKRI) hingga Sabtu malam itu bertema “Indonesia Jang Kita
Tjita-Tjitakan”. Sesungguhnja, suatu ichtiar merumuskan masa
depan. Meski begitu, djelas bahwa diskusi jang mengundang
Majdjen Ali Murtopo, Djenderal Sumitro, Sudjatmoko, Emil Salim
dan Harry Tjan Silalahi itu diliputi soal-soal jang masih gelap
dihari-hari ini.; Keempat organisasi mahasiswa itu, bersama gerakan-gerakan lain,
beberapa minggu sebelumnja ikut dalam diskusi dan
pernjataan-pernjataan sekitar projek Miniatur Indonesia Indah.
Pidato Presiden Soeharto 6 Djanuari dipembukaan RS Pertamina
jang setjara keras menanggapi aksi-aksi pemuda & mahasiswa itu
ikut mengedjutkan, dan agaknja djuga memasgulkan mereka. “Dari
persoalan Miniatur itu kami tergerak mengadakan pertemuan
sematjam ini”, kata Chris Siner Kay Timu, Ketua Umum PMKRI
“meskipun konsultasi antara organisasi organisasi jang kami
wakili disini sudah berdjalan sedjak lama setelah KAMI tak hidup
lagi”. Dan Akbar Tandjung, Ketua PB HMI mendjelaskan: “Lain kali
pertemuan sematjam ini akan kami selenggarakan dengan peserta
Jang lebih luas”. Keterangan Akbar nampaknja perlu mengingat di
Tjipajung itu tak hadir orang-orang SOMAL, organisasi-organisasi
mahasiswa lokal, GMSOS dan djuga PMII, jang berafiliasi dengan
NU. PMII memang dua hari sebelumnja minta disertakan, tapi tak
bisa. “Karena alasan teknis”, kata tokoh GMKI Binsar Sihanipar.
Seorang peserta sementara itu mendjelaskan: “Soalnja djuga
karena PMII belakangan ini tak pernah muntjul dalam kegiatan
bersama”.; Ketjewa. Betapapun, pelbagai kelompok mahasiswa jang tak
diwakili di Tjipajung agaknja tak perlu merasa ketjewa.
Pertanjaan dan pendapat jang dikemukakan disana, sebagian besar
menjangkut soal kebebasan kritik dan ruang gerak generasi muda
setelah pidato Presiden 6 Djanuari dan larangan Kopkamtib
terhadap “aksi-aksi ekstra-parlementer”, kurang-lebih sama
dengan isi hati banjak mahasiswa lain. Jang tak begitu puas
malah mungkin para hadirin di Tjipajung sendiri. Majdjen Ali
Murtopo memang datang sendiri. Seraja sesekali mengutjapkan
terima-kasih kepada pertanjaan-pertanjaan kritis–meskipun
hati-hati jang dikemukakan mahasiswa, Aspri Presiden itu memang
mengesankan hadirin sebagai orang jang tahu banjak, dan lebih
penting lagi: ia berbitjara dengan profil merendah, tapi jakin.
“Tapi waktu terlalu sedikit bagi kami” kata moderator sidang
berikutnja setelah Ali Murtopo pergi, “hingga banjak jang tak
sempat bertanja”. Karena itulah agaknja pertanjaan-pertanjaan
disiapkan buat pembitjara esok harinja: mereka menunggu
Djenderal Sumitro. Harapan tjukup besar diantara hadirin bahwa
perwira tinggi penting dari Hankam Kopkamtib itu akan datang.
Sebab, kata Harry Tjan, bekas pemimpin PMKRI dan Partai Katolik,
“suatu kemenangan moril bagi saudara-saudara karena berhasil
mengundang tokoh-tokoh besar kepertemuan.; Ternjata esok harinja Djenderal Sumitro berhalangan. Sebagai
wakilnja ialah Majdjen Poerbo S.Soewondo, dari G-5, Asisten
Teritorial Hankam. Berdjas dan berdasi abu-abu, perwira jang
belum banjak dikenal ini (“karena saja djarang masuk suratkabar
atau TV”, seperti di katakannja sendiri) membatjakan teks
tjeramahnja dengan nada rendah. Ia mengulangi beberapa prinsip
jang sebelumnja telah dinjatakan fihak Kopkamtib, terutama
tentang keharusan menjalurkan pendapat lewat DPR, Universitas
dan pers, dan larangan “aksi-aksi ekstra parlementer”. “Kalau
jang saja kemukakan ada jang kedengarannja berbeda dengan jang
sudah dikemukakan Pak Mitro dalam pertemuan dengan pers beberapa
hari jang lalu, harap beritahu saja dulu sebelum dimuat dalam
koran”, katanja kepada wartawan-wartawan jang hadir. Majdjen
Poerbo memang tjukup berhati-hati. Seluruh tanja-djawab di rekam
oleh adjudan, dan ia berusaha mendjawab sesuai dengan
kedudukannja. Ia djuga minta agar para penanja menjebutkan
namanja, lengkap dengan nama organisasinja–jang menjebabkan
para mahasiswa tertawa, sampai Majdjen Poerbo menjatakan seraja
senjum halus: “Saja bukan informan”.; Betot. Dan pertanjaan-pertanjaanpun, atau pernjataan, datang
santer. “Interpretasi Pemerintah tentang stabilitas tak sama
dengan interpretasi generasi muda”, kata Theo Sambuaga dari
GMNI. Ia nampaknja mengharapkan adanja tjara-tjara jang tepat
buat menghubungkan kehendak pemuda dengan Pemerintah, sebab
“dimanapun djuga tak mesti hanja DPR jang mendjadi salurannja”.
Seperti menjambung itu, Ato dari HMI menjatakan pula: “Kalau ada
delegasi” – maksudnja tentulah sedjenis aksi
“ekstra-parlementer”–“jang mendatangi fihak Pemerintah itu tak
berarti bukan mereka tak ingin mempergunakan saluran jang ada,
tapi soalnja karena dengan tjara itu daja betotnja lebih
efektif”. Djuga nampaknja peran universitas sadja tak dianggap
tjukup. Seperti dikatakan Abdullah Puteh dari HMI: “Sasaran
pembangunan ialah masjarakat. Mahasiswa sebagai kader
pembangunan harus punja kegiatan-kegiatan masjarakat”. Dan kata
Chris anak Timor: “Terhadap kegiatan ekstra parlementer,
Pemerintah terlalu menitik beratkan tindakan jang terlalu pagi.
Padahal kegiatan itu masih ada dalam batas-batas. Tidakkah
Pemerintah diliputi ketakutan jang berlebih-lebihan? Seolah
fihak keamanan tidak jakin bisa menanggulangi penunggangan”.; Dari semua itu nampak ada ketjemasan bahwa kebebasan gerak
generasi muda akan habis, dan hilanglah benih-benih kepemimpinan
karena “ketjurigaan penguasa terhadap radikalisme. Seperti
dinjatakan Ketua Umum GMNI Soerjadi “Radikalisme sangat
diperlukan, dalam rangka sekolah kepemimpinan dimasjarakat. Ini
termasuk penting buat pembangunan, djuga pembangunan ekonomi
sebab kita tak tjukup dengan teknokrasi”. Bagi Soerjadi,
radikalisme memang mungkin sadja ditunggangi, tapi tidak hanja
radikalisme sadja jang bisa di tunggangi “Pidato Presiden
didepan RS Pertamina dan instruksi Kopkamtib mungkin memang ada
dasar untuk ketjurigaan”, kata Soerjadi pula, “tapi djangan
memvonnis, djangan mengedjut kan hendaknja. Sebaiknja tempatkan
kewaspadaan-dulu, baru ketjurigaan”. Lagipula, seperti
ditanjakan Tigor Siagian dari GMKI seolah-olah menggugat, “apa
batasan ekstrim dan tidaknja suatu gerakan?” “Tidak bidjaksana
kalau ruang gerak generasi muda terlalu dibatasi”, kata Tigor
pula. “Itu akan menimbulkan frustrasi, dan apakah itu
menguntungkan, sebab kalau frustrasi jang tertahan-tahan itu
terus, bisa timbul kebakaran”. Ia menundjuk tjontoh Pakistan.; Tapi seperti jang sebenarnja sudah bisa diduga, pernjataan pernjataan deras sematjam itu tak semuanja bisa terdjawab. Waktu dihari Djum’at itu buat Majdjen Poerbo terlalu singkat, dan ia pun sudah menjatakan lebih dulu sebelumnja angan over estimate saja”. Bagaimanapun pembitjara dari Kopkamtib itu menjatakan: “Idealisme tidak di matikan, sebab kalau begitu kita sudah runtuh”. Ia mengulangi lagi perlunja forum komunikasi seperti diskusi Tjipajung itu. Meskipun, persis sewaktu tjeramah Majdjen Poerbo, panitia didatang polisi dan harus menghadapi Kodim jang menanjakan surat idjin diskusi hari itu nampaknja para mahasiswa harus pertjaja bahwa usahanja tidak akan sia-sia. Majdjen Ali Murtopo semalam sebelumnja berkata: “Friksi-friksi itu baik karena bisa menudju kearah perbaikan, asalkan semua fihak bisa menahan diri”.
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.