DEKAT MENDEKATI, DI CIPAYUNG

Home Forums Historia PMKRI dan Kelompok Cipayung DEKAT MENDEKATI, DI CIPAYUNG

  • This topic is empty.
Viewing 1 post (of 1 total)
  • Author
    Posts
  • #8024
    rinividivici
    Member

    DEKAT MENDEKATI, DI CIPAYUNG

    Edisi : 47/01
    Tanggal : 1972-01-29
    Halaman : 07
    Rubrik : NAS
    Penulis :
    Sumber :

    “Kalau sipilnja tidak mati, militernja jang mendekat, kalau
    militernja tidak mau, sipilnja jang mendekat”:

    ; KATA-KATA itu diutjapkan lajdjen Ali Murtopo. Ia berbitjara
    tentang hubungan sebaiknja antara generasi muda sipil dengan
    generasi muda ABRI dimasa-masa datang – jang agaknja berlaku
    djuga buat masa kini. Hari itu Kamis malam di Tjipajung. 20
    Djanuari minggu lalu. Diruang pertemuan Wisma Agraria jang
    dihadiri sekitar 45 orang, usaha dekat-mendekati antara
    mahasiswa dengan penguasa memang sedang dilakukan. Pertemuan
    jang di selenggarakan 4 organisasi mahasiswa (HMI, GMKI, GMNI
    dan PMKRI) hingga Sabtu malam itu bertema “Indonesia Jang Kita
    Tjita-Tjitakan”. Sesungguhnja, suatu ichtiar merumuskan masa
    depan. Meski begitu, djelas bahwa diskusi jang mengundang
    Majdjen Ali Murtopo, Djenderal Sumitro, Sudjatmoko, Emil Salim
    dan Harry Tjan Silalahi itu diliputi soal-soal jang masih gelap
    dihari-hari ini.

    ; Keempat organisasi mahasiswa itu, bersama gerakan-gerakan lain,
    beberapa minggu sebelumnja ikut dalam diskusi dan
    pernjataan-pernjataan sekitar projek Miniatur Indonesia Indah.
    Pidato Presiden Soeharto 6 Djanuari dipembukaan RS Pertamina
    jang setjara keras menanggapi aksi-aksi pemuda & mahasiswa itu
    ikut mengedjutkan, dan agaknja djuga memasgulkan mereka. “Dari
    persoalan Miniatur itu kami tergerak mengadakan pertemuan
    sematjam ini”, kata Chris Siner Kay Timu, Ketua Umum PMKRI
    “meskipun konsultasi antara organisasi organisasi jang kami
    wakili disini sudah berdjalan sedjak lama setelah KAMI tak hidup
    lagi”. Dan Akbar Tandjung, Ketua PB HMI mendjelaskan: “Lain kali
    pertemuan sematjam ini akan kami selenggarakan dengan peserta
    Jang lebih luas”. Keterangan Akbar nampaknja perlu mengingat di
    Tjipajung itu tak hadir orang-orang SOMAL, organisasi-organisasi
    mahasiswa lokal, GMSOS dan djuga PMII, jang berafiliasi dengan
    NU. PMII memang dua hari sebelumnja minta disertakan, tapi tak
    bisa. “Karena alasan teknis”, kata tokoh GMKI Binsar Sihanipar.
    Seorang peserta sementara itu mendjelaskan: “Soalnja djuga
    karena PMII belakangan ini tak pernah muntjul dalam kegiatan
    bersama”.

    ; Ketjewa. Betapapun, pelbagai kelompok mahasiswa jang tak
    diwakili di Tjipajung agaknja tak perlu merasa ketjewa.
    Pertanjaan dan pendapat jang dikemukakan disana, sebagian besar
    menjangkut soal kebebasan kritik dan ruang gerak generasi muda
    setelah pidato Presiden 6 Djanuari dan larangan Kopkamtib
    terhadap “aksi-aksi ekstra-parlementer”, kurang-lebih sama
    dengan isi hati banjak mahasiswa lain. Jang tak begitu puas
    malah mungkin para hadirin di Tjipajung sendiri. Majdjen Ali
    Murtopo memang datang sendiri. Seraja sesekali mengutjapkan
    terima-kasih kepada pertanjaan-pertanjaan kritis–meskipun
    hati-hati jang dikemukakan mahasiswa, Aspri Presiden itu memang
    mengesankan hadirin sebagai orang jang tahu banjak, dan lebih
    penting lagi: ia berbitjara dengan profil merendah, tapi jakin.
    “Tapi waktu terlalu sedikit bagi kami” kata moderator sidang
    berikutnja setelah Ali Murtopo pergi, “hingga banjak jang tak
    sempat bertanja”. Karena itulah agaknja pertanjaan-pertanjaan
    disiapkan buat pembitjara esok harinja: mereka menunggu
    Djenderal Sumitro. Harapan tjukup besar diantara hadirin bahwa
    perwira tinggi penting dari Hankam Kopkamtib itu akan datang.
    Sebab, kata Harry Tjan, bekas pemimpin PMKRI dan Partai Katolik,
    “suatu kemenangan moril bagi saudara-saudara karena berhasil
    mengundang tokoh-tokoh besar kepertemuan.

    ; Ternjata esok harinja Djenderal Sumitro berhalangan. Sebagai
    wakilnja ialah Majdjen Poerbo S.Soewondo, dari G-5, Asisten
    Teritorial Hankam. Berdjas dan berdasi abu-abu, perwira jang
    belum banjak dikenal ini (“karena saja djarang masuk suratkabar
    atau TV”, seperti di katakannja sendiri) membatjakan teks
    tjeramahnja dengan nada rendah. Ia mengulangi beberapa prinsip
    jang sebelumnja telah dinjatakan fihak Kopkamtib, terutama
    tentang keharusan menjalurkan pendapat lewat DPR, Universitas
    dan pers, dan larangan “aksi-aksi ekstra parlementer”. “Kalau
    jang saja kemukakan ada jang kedengarannja berbeda dengan jang
    sudah dikemukakan Pak Mitro dalam pertemuan dengan pers beberapa
    hari jang lalu, harap beritahu saja dulu sebelum dimuat dalam
    koran”, katanja kepada wartawan-wartawan jang hadir. Majdjen
    Poerbo memang tjukup berhati-hati. Seluruh tanja-djawab di rekam
    oleh adjudan, dan ia berusaha mendjawab sesuai dengan
    kedudukannja. Ia djuga minta agar para penanja menjebutkan
    namanja, lengkap dengan nama organisasinja–jang menjebabkan
    para mahasiswa tertawa, sampai Majdjen Poerbo menjatakan seraja
    senjum halus: “Saja bukan informan”.

    ; Betot. Dan pertanjaan-pertanjaanpun, atau pernjataan, datang
    santer. “Interpretasi Pemerintah tentang stabilitas tak sama
    dengan interpretasi generasi muda”, kata Theo Sambuaga dari
    GMNI. Ia nampaknja mengharapkan adanja tjara-tjara jang tepat
    buat menghubungkan kehendak pemuda dengan Pemerintah, sebab
    “dimanapun djuga tak mesti hanja DPR jang mendjadi salurannja”.
    Seperti menjambung itu, Ato dari HMI menjatakan pula: “Kalau ada
    delegasi” – maksudnja tentulah sedjenis aksi
    “ekstra-parlementer”–“jang mendatangi fihak Pemerintah itu tak
    berarti bukan mereka tak ingin mempergunakan saluran jang ada,
    tapi soalnja karena dengan tjara itu daja betotnja lebih
    efektif”. Djuga nampaknja peran universitas sadja tak dianggap
    tjukup. Seperti dikatakan Abdullah Puteh dari HMI: “Sasaran
    pembangunan ialah masjarakat. Mahasiswa sebagai kader
    pembangunan harus punja kegiatan-kegiatan masjarakat”. Dan kata
    Chris anak Timor: “Terhadap kegiatan ekstra parlementer,
    Pemerintah terlalu menitik beratkan tindakan jang terlalu pagi.
    Padahal kegiatan itu masih ada dalam batas-batas. Tidakkah
    Pemerintah diliputi ketakutan jang berlebih-lebihan? Seolah
    fihak keamanan tidak jakin bisa menanggulangi penunggangan”.

    ; Dari semua itu nampak ada ketjemasan bahwa kebebasan gerak
    generasi muda akan habis, dan hilanglah benih-benih kepemimpinan
    karena “ketjurigaan penguasa terhadap radikalisme. Seperti
    dinjatakan Ketua Umum GMNI Soerjadi “Radikalisme sangat
    diperlukan, dalam rangka sekolah kepemimpinan dimasjarakat. Ini
    termasuk penting buat pembangunan, djuga pembangunan ekonomi
    sebab kita tak tjukup dengan teknokrasi”. Bagi Soerjadi,
    radikalisme memang mungkin sadja ditunggangi, tapi tidak hanja
    radikalisme sadja jang bisa di tunggangi “Pidato Presiden
    didepan RS Pertamina dan instruksi Kopkamtib mungkin memang ada
    dasar untuk ketjurigaan”, kata Soerjadi pula, “tapi djangan
    memvonnis, djangan mengedjut kan hendaknja. Sebaiknja tempatkan
    kewaspadaan-dulu, baru ketjurigaan”. Lagipula, seperti
    ditanjakan Tigor Siagian dari GMKI seolah-olah menggugat, “apa
    batasan ekstrim dan tidaknja suatu gerakan?” “Tidak bidjaksana
    kalau ruang gerak generasi muda terlalu dibatasi”, kata Tigor
    pula. “Itu akan menimbulkan frustrasi, dan apakah itu
    menguntungkan, sebab kalau frustrasi jang tertahan-tahan itu
    terus, bisa timbul kebakaran”. Ia menundjuk tjontoh Pakistan.

    ; Tapi seperti jang sebenarnja sudah bisa diduga, pernjataan pernjataan deras sematjam itu tak semuanja bisa terdjawab. Waktu dihari Djum’at itu buat Majdjen Poerbo terlalu singkat, dan ia pun sudah menjatakan lebih dulu sebelumnja angan over estimate saja”. Bagaimanapun pembitjara dari Kopkamtib itu menjatakan: “Idealisme tidak di matikan, sebab kalau begitu kita sudah runtuh”. Ia mengulangi lagi perlunja forum komunikasi seperti diskusi Tjipajung itu. Meskipun, persis sewaktu tjeramah Majdjen Poerbo, panitia didatang polisi dan harus menghadapi Kodim jang menanjakan surat idjin diskusi hari itu nampaknja para mahasiswa harus pertjaja bahwa usahanja tidak akan sia-sia. Majdjen Ali Murtopo semalam sebelumnja berkata: “Friksi-friksi itu baik karena bisa menudju kearah perbaikan, asalkan semua fihak bisa menahan diri”.

Viewing 1 post (of 1 total)
  • You must be logged in to reply to this topic.