Diskusi Panel vs Intel

Home Forums Historia Diskusi Panel vs Intel

Tagged: 

  • This topic is empty.
Viewing 1 post (of 1 total)
  • Author
    Posts
  • #8022
    rinividivici
    Member

    DISKUSI PANEL VS INTEL

    Edisi : 45/01
    Tanggal : 1972-01-15
    Halaman : 14
    Rubrik : HK
    Penulis :
    Sumber :

    MULA-MULA dia hanja duduk –duduk didjok belakang sebuah Vespa jang diparkir dirumah Djalan Sam Ratulangi 1 Djakarta itu. Tjelananja kuning dengan badju putih, sedang ditangannja tertenteng sebuah walkie-talkie Waktu: pukul 18.10 tanggal 3 Djanuari 1972. “Selamat Tahun Baru, pak”, seoran menghampirinja. “Wah, pangling nih? habis biasanja bapak pakaian dinas”, landjut orang berdjaket PWI itu jang segera mengenali lawan bitjaranja sebagai R.A.M Hadath, Komisaris Polisi jang achir-achir ini namanja agak laris dikoran. Dan rupanja perwira intel Komwil 71 ini, seperti dikatakannia, memang sedang tidak dinas. “Giliran to. Sekarang lagi pak Karwana”, landjutnja menundjuk keseorang jang sedang sibuk dengan walkie talkie tak djauh dari situ–dan dikerumuni banjak orang jang mentjoba mendengarkan segala pembitjaraan lewat alat penghubung ketjil itu. “Tapi kalau bagian intel, dinas nggak dinas sama sadja, pak”. Dan pemuda berdjaket PWI serta adath sama-sama undjuk gigi: tertawa.

    ; Benar djuga: sementara diskusi jang diselenggarakan ormas-ormas HMI, PMKRl, GMKI dan GMNI tentang projek Miniatur Indonesia Indah itu berlangsung dengan asjik, tiba-tiba dari pintu samping terdenar suara keras: “Saudara-saudara saja minta supaja diskusi dibubarkan “Sekalipun para hadirin merasa dikagetkan oleh suara keras itu, tapi seera diketahui bahwa jang njelonong bersuara dan masuk keruang sebesar lapangan badminton itu tak lain adalah: pak Hadath, intel kita tadi. Sekarang, (waktu itu sekira diam 20.15), Hadath sudah berpakaian lengkap. Sambil mengulan-ulang permintaannja lewat megafon supaja atjara itu disudahi, ia menjeruak diantara hadirin jang sementara itu sudah banjak jang mengangkat pantat dari tempat duduknja.

    ; Tapol. Nampaknja tugas Hadath tak begitu disukai dan karena itu, ia tak luput dari tjemooh menggerutu. Lebih-lebih ketika dia memulai membatjakan surat tugas jang diberikan kepadanja dengan awal “Demi Keadilan” – orang pun tersorak. Tapi Hadath rupanja sudah banjak pengalaman mendampingi anak-anak muda, sehingga tjemoohan dan gerutuan disambutnja dengan tenang. Malah–tidak sebagaimana dia membubarkan rentjana diskusi tentang Orde Baru di Jajasan Indonesia beberapa bulan lalu – ia kini banjak tertawa. Segera sadja ia madju kepanel dan sekali lagi membatjakan surat tugasnja dan atas hak itu memerintahkan supaja hadirin jang lebih 500 orang itu membubarkan diri.

    ; Para anak buah Hadath – dengan sendjata siaga – jang sudah nongkrong sedjak sebelum diskusi itu dimulai djam 17.30, nampak mulai mendekat-dekat. Achirnja, walaupun ada protes beruntun datang dari jang hadir, fihak Komwil 71 berhasil menjudahi pertemuan jan memang sudah hampir usai itu. Tani Ya Thiam Hien jang dalam diskusi tentan MII itu banjak bitjara soal hukum menjatakan perintah itu tidak sah. “Seharusnia salinan dari Surat Perintah itu diberikan kepada kita”, katanja pada TEMPO.

    ; Berkerumun. Tapi sebelum Yap mengatakan pendapatnja itu, mengadakan diskusi tentan MII sekarang ini merupakan kegiaan jang sulit. Harus minta izin apa tidak? Sementara Petugas keamanan jang datang membubarkan diskusi di Pusat Mahasiswa PMKRI itu menjebutkan beberapa fasal jang mendjadi alasan untuk membubarkan prtemuan–tapi kemudian ketika ditjek kepada AKBP R. Sudjoko, Komandannja, ternjata jang seharusnja dibatja adalah hanja fasal 218 KUHP, jaitu mengenai larangan berkerumun. Dan “diskusi termasuk didalamnja, karena diskui itu artinja kumpul-kumpul jang harus minta izin lebih dulu”, katanja. Tepatkah Sudjoko? Tafsiran fasal itu sebagaimana dituliskan oleh R. Soesilo, pensiunan AKBP dalam bukunja Kitab Undang Undang Hukum Pidana : “waktu orang-orang berkerumun orang-orang berkerumun jang mengatjau volksoploop, djadi bukan orang-orang berkerumun jang tenteram dan damai jang biasanja segera semua pergi djika diperintahkan supaja bubar”. Pendjelasan itu (baik fasalnja) tampak tak ada menjebut-njebut soal izin.

    ; Dan jang djelas, berkali-kali pertemuan pertukaran pendapat seperti djuga pernah dikatakan Hakim Agung Asikin Kusumaatmadja dapat djalan tanpa Paspor berbentuk surat izin (lihat TEMPO, 26 Djuni 1971). Dan AKBP Sudjoko, Komandan Komwil 71 itupun bukan tak mengetahui hal tersebut. Akan tetapi dikantornja, doktorandus polisi itu berkata kepada TEMPO: “Kalau diskusi-diskusi sosial atau ilmiah tidak akan dilarang”. Tidak diterankan apa makna “sosial” dan “ilmiah” itu, hanja landjutnja: “Alasannja saja tidak tahu. Saja hanja melaksanakan tugas sadja dari atasan. Pokoknja diskusi itu dilarang oleh Pemerintah”. Dan ini kesimpulan Sudjoko jang penting sebagai alat negara: “Saja tidak tahu alasannja, makanja saja tidak mau berdialog”.

    ; Kutjing. Maka soalnja mungkin kembali kepada keteranan Kadapol Widodo jang pernah mengatakan bahwa izin diskusi akan diberikan asalkan bahannja tidak menggontjankan stabilitas keamanan. Dan apa itu stabilitas keamanan agaknja sama sukarnja dengan menebak warna kutjing dalam karung. Lalu? Apa boleh buat: peristiwa sematjam jang terdjadi di Sam Ratulangi tampaknja akan mendjadi teramat biasa. Paling tidak diantara para diskusiwan dimana sadja pasti ada intel-nja – suatu hal jang baru-baru ini dialami oleh penjair Ajip Rosidi, ketika ia memberikan tjeramah jang bersifat tertutup dimuka tjalon-tjalon diplomat di Taman Ismail Marzuki. Ajip dipanggil polisi, hanja karena ia membandingkan biaja projek Miniatur Indonesia Indah dengan biaja perpustakaan untuk rakjat.

    Sumber : Arsip Majalah Tempo

Viewing 1 post (of 1 total)
  • You must be logged in to reply to this topic.